Thursday, April 2, 2015

9 Kompasianer Bicara Pramuka

140955321999365829

Ilustrasi Pramuka (Sumber: Wartakota)
Apa yang anda ingat tentang Pramuka? Baju warna coklat muda, kacu merah putih, tali temali? Kenangan manis camping dan petualangan di alam bebas? Atau malah kenangan menjengkelkan gara-gara sering diteriaki “cepat deeekkk…” sewaktu menjadi junior. Atau kenangan yang menggelikan sewaktu dipanggil “Kak” atau “Kakak”, serasa menjadi pimpinan gangster di film-film China. Atau kenangan menggelikan karena guru-guru yang sudah berumur masih saja dipanggil “Kak”. Semua kenangan ini membawa kita kembali ke ingatan masa lalu, bahwa sebagian besar dari generasi 70an, 80an, dan 90an, banyak yang menggandrungi Pramuka.
Sayangnya, popularitas Pramuka saat ini tidak sepopuler sebagaimana muda-mudi angkatan 70an, 80an, 90an menggandrungi Pramuka. Entah apa penyebab anak muda sekarang tidak begitu suka dengan Pramuka.
Menurunnya popularitas Pramuka ditunjukkan dengan sedikitnya percakapan tentang Pramuka di media sosial, khususnya Twitter sebagaimana penggunanya didominasi oleh anak muda. Iskandar Zulkarnain dalam tulisannya tentang Sepinya Obrolan Pramuka di Twitter “di Bulan Agustus ini hanya ada belasan kicauan berisi kata Pramuka per harinya. Itu pun ditulis dari akun penggerak Pramuka seperti @kwarnas dan @pramuka_jabar. Nyaris tidak ada Pramuka yang aktif memamerkan kegiatan kepanduannya di media sosial baik lewat teks, foto, maupun video.”
Tetapi, tenang saja. Masih ada kompasianer-kompasianer yang peduli dengan Pramuka. Berikut adalah 9 Kompasianer yang bicara tentang Pramuka:
Menurut Supardi yang dulunya adalah aktivis Pramuka, saat pertengahan 1990-an, Pramuka belum semarginal sekarang. Tetapi, tanda-tanda Pramuka akan menjadi kelompok minoritas yang segera kehilangan peminat, sudah begitu nyata terlihat. Kenapa Supardi bisa berprediksi seperti itu?
Dahulu kala, Supardi dan kawan-kawannya saat pekan ekstrakurikuler menampilkan beragam atraksi, termasuk membuat menara dari bambu yang menjadi bangunan tertinggi di sekolah saat itu. Kemudian menara bambu digunakan untuk atraksi prusik dan katrol. Menara bambu itu kuat, meski bahannya hanya bambu diikat tali Pramuka. Dengan atraksi yang luar biasa ini, Pramuka hanya bisa menggaet belasan calon anggota baru, belum lagi seleksi alam yang membuat beberapa orang gugur. Mirisnya, yang bertahan hanya beberapa orang saja. Tak sampai habis hitungan jari.
Pramuka, bagi Supardi adalah ekstrakurikuler yang komplit, banyak kemampuan yang dilatih dalam Pramuka. Apa saja kah itu? Selengkapnya baca disini.
14095519662075929373
Bersiap mendaki Gunung Singgalang, Sumbar, 1982 (dok.pri)
Pramuka mati suri! Begitu kata Agustus Sani. Menurutnya, kenapa Pramuka mati suri disebabkan oleh pertama, Pramuka dijadian program ekstrakurikuler “wajib” di sekolah. Kedua, Pramuka dijalankan oleh guru-guru yang menjadi pembina dengan kurangnya pengetahuan dan keterampilan. Ketiga, kurangnya kesadaran pemerintah dalam mendukung gerakan ini, Pramuka hanya dijadikan semacam “proyek” yang tentunya memberi manfaat bagi orang-orang tertentu saja.
Uniknya, Pramuka yang diikuti dan dijalankan oleh Agustus Sani, berbeda dengan gudep-gudep lainnya. Apa bedanya? Selengkapnya baca di sini.
Masih ingat dengan Dasadharma? Hemat, cermat, dan bersahaja adalah bunyi salah satu butir Dasadharma. Florensius Marsudi punya pengalaman yang unik dengan anak-anak didiknya. Florensius Marsudi menyaksikan langsung bagaimana prinsip hemat, cermat, dan bersahaja dalam kehidupan sehari-hari dihidupkan.
Bagaimana kisah lengkapnya? Bisa dilihat di sini.
Mbah Paito mewakili orang-orang yang gerah dipanggil “dek” sewaktu ikut Pramuka. Ia masih alergi dengan teriakan “cepat deeekk…!” Ia juga paling alergi dipanggil “Kak” karena kesannya seperti pembina Pramuka. Menurutnya, panggilan “Kak atau Kakak” malah seperti pimpinan gangster dalam film-film China, ada Kakak pertama, Kakak kedua, hingga kakak tertua.
Menurut Mbah Paito, sebenarnya Pramuka itu merupakan kegiatan dengan tujuan yang baik, hanya saja pengemasannya kurang menarik. Simak penuturan jujur Mbah Paito tentang Pramuka di sini.
Yang terlupa oleh kita adalah sosok-sosok pembina Pramuka yang mengajarkan nilai-nilai Pancasila, moral atau karakter terpuji. Mereka mengabadikan waktunya melatih dan membina Pramuka meski tak dibayar. Seandainya pihak sekolah memberikan insentif bagi pembinanya, maka nilainya tak lebih dari kebutuhan membeli 10 kg beras. Tetapi mereka ikhlas mengabdikan ilmu dan pengalamannya.
Simak bagaimana kekaguman Muhammad terhadap pembina-pembinaPramuka, selengkapnya di sini.
Menurut Moch Syafei, ini betul-betul tragedi nasional. Tapi, siapa peduli? Tak ada yang bekerja dengan niat untuk bangsa ini. Hampir semuanya bekerja hanya untuk diri dan kelompoknya. Mereka adalah politisi, bak srigala lapar. Semua harus ada dalam genggaman, termasuk Pramuka. Pramuka saat ini adalah pergulatan para politisi memperebutkan kursi ketua umum Pramuka. Pramuka seharusnya dipimpin oleh pemuda. Sehingga lebih terasa gregetnya. Pemuda masih penuh vitalitas dan gairah sebagaimana jiwa Pramuka.
Moch Syafei lebih banyak mengkritisi Pramuka yang lebih banyak dipolitisir, dibandingkan dengan menghidupkan semangat Pramuka itu sendiri. Simak uraian selengkapnya di sini.
Realitas gudep berbasis sekolah memicu kegalauan orang nomor satu di Kwarnas Gerakan Pramuka, yaitu Adhyaksa Dault. Di depan peserta Rakernas gerakan Pramuka yang berlangsung di kompleks Pusdiklatnas Jakarta. Himbauan Adhyaksa Dault kepada semua jajaran Pramuka memfokuskan diri untuk membangun dan memantapkan gudep baik yang berbasis sekolah maupun yang berbasis komunitas. Menghidupkan gudep yang “mati suri” seyogyanya tidak sekedar memberi himbauan, tetapi seyogyanya merupakan gerakan nyata.
Lalu bagaimana Aris Arianto menawarkan solusi untuk menghidupkan Pramuka yang mati suri? Simak pemaparan selengkapnya di sini.
Kabar gembira datang dari Gudep 001-002 Australia. Oktober 2013 lalu, telah diresmikan Gudep 001-002 Australia yang bertempat di KJRI Sydney. Setelah tidak aktif sejak tahun 1980-an, kegiatan kepramukaan Gudep 001-002 ini bertujuan menanamkan kembali nilai-nilai keindonesiaan kepada pembina dan peserta didik generasi muda Indonesia yang telah lama tinggal bahkan lahir di Australia.
Bagaimana proses pelantikan ini berlangsung? Simak kisah lengkapnya di sini.
Banyak informasi simpang siur, setelah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh menegaskan bahwa Pramuka akan menjadi kegiatan ekstrakurikuler wajib untuk siswa Sekolah Dasar (SD). Oleh karenanya, Kompasianer-M. Rasyid Nur menegaskan kembali bahwa Pramuka bukanlah sebagai mata pelajaran baru. Pramuka hanya tetap sebagai kegiatan eskul yang merupakan kegiatan tambahan peserta didik di luar mata pelajaran yang sudah ada. Konsekuensinya adalah, setiap satuan pendidikan (SD, SMP, SMA) wajib menyelenggarakan eskul Pramuka, tetapi tidak diwajibkan pada setiap siswa.
Bagaimanakah status Pramuka sebenarnya? Simak uraiannya di sini.
Semoga, Pramuka segera menemukan ruh semangatnya, membangun karakter positif bagi generasi-generasi muda. (ACI)

0 komentar:

Post a Comment