Haji Agus Salim
(lahir dengan nama Mashudul Haq (yang bermakna "pembela
kebenaran"); Koto Gadang, Bukittinggi, Minangkabau, (8 Oktober 1884–Jakarta, 4 November 1954) adalah seorang pejuang
kemerdekaan Indonesia.
Beliau menempuh pendidikannya di ELS (Europeese
Lagere School) dan HBS di Jakarta. Agus Salim terkenal sebagai orang yang
cerdas dan pandai, beliau menguasai sembilan bahasa asing, di antaranya
Belanda, Inggris, Jerman, Perancis, Arab, Turki dan Jepang. Pada waktu muda
beliau merantau sampai ke Arab Saudi untuk memperkaya pemikiran dan ilmunya.
Haji Agus Salim pernah menjadi penerjemah di Konsulat Belanda di Jeddah Arab
Saudi.
Tokoh yang terkenal dengan penampilan
khasnya memakai kopiah dan berjanggut, menjabat sebagai Menteri Luar Negeri
pada periode 3 Juli 1947 - 20 Desember 1949. Pada masa jabatannya beliau
mengetuai delegasi Indonesia dalam Inter-Asian Relation Conference di
India dan berusaha membuka hubungan diplomatik dengan sejumlah Negara Arab,
terutama Mesir dan Arab Saudi.
Beliau merupakan salah satu diplomat ulung
Indonesia yang dikenal sering mewakili Indonesia di berbagai konferensi dan
pertemuan Internasional. Sosoknya telah dikenal di kalangan masyarakat
Internasional. Karena keluasan ilmunya, beliau diminta memberikan kuliah agama
Islam di Cornell University dan Princenton University, Amerika
Serikat.
Latar belakang
Agus Salim lahir dari pasangan Angku Sutan
Mohammad Salim dan Siti Zainab. Ayahnya adalah seorang kepala jaksa di
Pengadilan Tinggi Riau.
Pendidikan dasar ditempuh di Europeesche
Lagere School (ELS), sekolah khusus anak-anak Eropa, kemudian dilanjutkan
ke Hoogere Burgerschool (HBS) di Batavia. Ketika
lulus, ia berhasil menjadi lulusan terbaik di HBS se-Hindia Belanda.
Setelah lulus, Salim bekerja sebagai penerjemah
dan pembantu notaris pada sebuah kongsi pertambangan di Indragiri.
Pada tahun 1906, Salim berangkat ke Jeddah, Arab Saudi untuk bekerja di
Konsulat Belanda di sana. Pada periode inilah Salim berguru pada Syeh Ahmad
Khatib, yang masih merupakan pamannya.
Salim kemudian terjun ke dunia jurnalistik
sejak tahun 1915 di Harian Neratja sebagai Redaktur II.
Setelah itu diangkat menjadi Ketua Redaksi. Menikah dengan Zaenatun
Nahar dan dikaruniai 8 orang anak. Kegiatannya dalam bidang jurnalistik
terus berlangsung hingga akhirnya menjadi Pemimpin Harian Hindia
Baroe di Jakarta. Kemudian mendirikan Suratkabar Fadjar
Asia. Dan selanjutnya sebagai Redaktur Harian Moestika
di Yogyakarta dan membuka kantor Advies en Informatie Bureau Penerangan Oemoem
(AIPO). Bersamaan dengan itu Agus Salim terjun dalam dunia politik sebagai
pemimpin Sarekat Islam.
Karir politik
Pada tahun 1915, Salim bergabung dengan
Sarekat Islam (SI), dan menjadi pemimpin kedua di SI setelah H.O.S. Tjokroaminoto.
Peran Agus Salim pada masa
perjuangan kemerdekaan RI antara lain:
Ø
Anggota
Volksraad (1921-1924)
Ø
Anggota
panitia 9 BPUPKI yang mempersiapkan UUD 1945
Ø
Menteri
Muda Luar Negeri Kabinet Sjahrir II 1946 dan
Kabinet III 1947
Ø
Pembukaan
hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara Arab, terutama Mesir pada
tahun 1947
Ø
Menteri
Luar Negeri Kabinet Amir Sjarifuddin 1947
Ø
Menteri
Luar Negeri Kabinet Hatta 1948-1949
Di antara tahun 1946-1950 ia laksana bintang
cemerlang dalam pergolakan politik Indonesia, sehingga kerap kali digelari
"Orang Tua Besar" (The Grand Old Man). Ia pun pernah menjabat
Menteri Luar Negeri RI pada kabinet Presidentil dan di tahun 1950 sampai akhir
hayatnya dipercaya sebagai Penasehat Menteri Luar Negeri.
Pada tahun 1952, ia menjabat Ketua di Dewan
Kehormatan PWI. Biarpun penanya tajam dan kritikannya pedas namun Haji Agus
Salim masih mengenal batas-batas dan menjunjung tinggi Kode Etik Jurnalistik.
Setelah mengundurkan diri dari dunia
politik, pada tahun 1953 ia mengarang buku dengan judul Bagaimana Takdir,
Tawakal dan Tauchid harus dipahamkan? yang lalu diperbaiki menjadi Keterangan
Filsafat Tentang Tauchid, Takdir dan Tawakal.
Ia meninggal dunia pada 4 November 1954 di
RSU Jakarta dan dimakamkan di TMP Kalibata,
Jakarta.
0 komentar:
Post a Comment